Minggu, 25 September 2011

KUMPULAN makalah: KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KUMPULAN makalah: KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KUMPULAN makalah: KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KUMPULAN makalah: KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KUMPULAN makalah: JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PELAKU DOSA BESAR DALAM PERSPEKTIF ANTAR ALIRAN DALAM ILMU KALAM

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
            Persoalan politik pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbitrase atau tahkim dari Mu’awiyah Bin Abi Sofyan pada perang Siffin. Diduga sebagai titik awal munculnya persoalan teologi dalam ilmu kalam yaitu timbulnya persolan siap yang dianggap kafir dan siapa yang dianggap masih mempunyai iman.
            Pada era selanjutnya Khawarijpun pecah kepada beberapa sub sekte, konsep kafir turut pula mengalami perubahan, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang menentukan hukum tidak dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besarpun  juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah yang kemudian turut andil besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya.
 Dalam perkembangannya, Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam, pertama Khawarij yang memandang bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh, kedua, Murjiah yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin bukan kafir, soal dosa besar yang dilakukannya, diserahkan kepada Allah untuk mengampuni atau tidak; ketiga, aliran Mu’tazilah yang menolak kedua pandangan-pandangan kedua aliran-aliran diatas. Bagi Mu’tazilah orang berdosa besar tidak lah kafir, tetapi bukan pula mukmin, mereka menyebutnya manzilah bainal manzilataini (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih rasional bahkan liberal dalam beragama.


          Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisional Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab imam Ibn Hambal, sepeninggal al Ma’mun pada dinasti Abbasiah, syiar Mu’tazilah berkurang bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh khalifah al Mutawakkil. Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung, mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al Hasan al Asy’ari yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al Asy’ariah, di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansur Al Mauturidi., Aliran ini dikenal dengan Maturidiah. Dalam makalah yang akan penulis sampaikan adalah pandangan antar aliran dalam ilmu kalam tentang pelaku dosa besar.
PEMBAHASAN
            Dalam pembahasan teori berikut, penulis akan membahas pandangan antar beberapa aliran yang kita kenal dalam ilmu kalam mengenai pandangan mereka terhadap pelaku dosa besar.

A. Menurut aliran Khowarij

Semua pelaku dosa besar murtabb al- kabiroh , menurut semua sub sekte dari golongan khowarij, kecuali subsekte najah, adalah kafir dan akan disiksa didalam neraka untuk selamanya, bahkan sub sekte yang dikenal ekstrim, yaitu sub sekte azzariqoh’ menggunakan istilah yang lebih mengrikan dari kata kafir, kelompok tersebut menggunakan istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara muslim itu pun sangat biasa dikalangan khowarij bahkan  Nafii Bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin  oleh kaum Khawarij menfatwakan bahwa sekalian orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan anak isterinya..Dalam hal ini mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Nuh 26-27)[1]
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا  إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
3
“Nuh berdoa: wahai Tuhanku janganlah engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat dimuka bumi. Sesungguhnya jika engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih.( Nuh 26-27 ).
Meskipun secara umum subsekte Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing sub sekte tersebut masih berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir.[2]

Mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Al-Maidah 44:

           وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alllah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( Q.S Al-Maidah 44 )

Disinilah letak penjelasannya sebagaimana mudahnya golongan Khowarij terpecah belah menjadi subsekte-sub sekte yang banyak, serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap para penguasa pada zamannya. Dalam sub bahasan ini  penulis akan menyebut kan beberapa subsekte dari golongan Khawarij, dan pandangan mereka terhadap para pelaku dosa besar.

1. AL-MUHAKKIMAH
           
Golongan ini adalah golongan Khowarij dan terdiri dari para pengikut Ali, menurut golongan ini Ali, Mu’wiyah, dan kedua utusan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn Al-Ash, dan Abu Musa Al Asyari, dan semua yang terlibat dalam arbitrase,  dianggap bersalah dan mereka menghukuminya kafir.[3]
            Menurut golongan ini, hukum kafir diluaskan artinya sehingga pelaku dosa besar pun, seperti berbuat zina, membunuh tanpa adanya alasan yang sah termasuk dalam golongan orang yang berbuat dosa besar dan dihukumi keluar dari islam dan menjadi kafir.[4]

2. AL-AZARIQOH
           
Subsekte Az-zariqah ini, bersikap lebih radikal lagi dibanding subskte Al-Muhakimmah, golongan ini tidak lagi memakai istilah kafir dalm menghukumi pelaku dosa besar, tapi mereka menggunakan term musyrik polytheist, yang mana musyrik merupakan dosa yang paling tinggi tingkatanya. Yang mereka anggap musyrik ialah semua orang isam yang tidak paham dengan mereka, meskipun orang islam yang sepaham dengan golongan ini, tapi tidak mau berhijrah kedalam barisan mereka juga dianggap musyrik dan wajib dibunuh.
            Karena dalam pandangan  golongan ini hanya daerah merekalah yang  merupakan negara isam dan yang lain dianggap dar al-kufr.  yang mereka anggap harus diperangi. Dan yang mereka anggap musyrik bukan hanya orang dewasa dan anak anakpun ikut mereka anggap musyrik (yang bukan dari golongan mereka ).[5]

3.  AL-NAJDAD
           
Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah adalah pimpinan sub sekte ini. Kelompok ini berlainan pendapat dengan kedua kelompok diatas dalam mensikapi  pelaku dosa besar, menurut pendapat subsekte ini pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan yang kekal didalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan mereka, adapun jika pengikutnya melakukan dosa besar , tetap dimasukkan kedalam neraka  dan mendapat siksaan tetapi tidaklah kekal didalamnya dan  kemudian akan dimasukkan kedalam surga.
            Dosa kecil bagi mereka bisa menjadi besar apabila dikerjakan secara berulang-ulang,dan pelakunya akan menjadi musyrik.
            Dalam kalangan golangan Khawarij subsekte An-Najdad inilah yang pertama kali memperkenalkan faham taqiah yaitu merahasiakan atau tidak menyatakan keyakinan demi untuk keselamatan seseorang, taqiah menuru mereka bukan hanya dalam bebtuk ucapan saja tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan bahwa dirinya bukanlah seorang meslim tapi hakikatnya dia adalah seorang yang tetap menganut agam Islam. Tapi dalam hal ini tidak semua dari pengikut An-Najdad yang bisa menyetujui faham tersebut diatas, terutama pada doktrin yang menyatakan bahwa dosa besar tidak menjadikan pengikutnya menjadi kafir dan dosa kecil dapat menjadi besar apabila dilakukan secara berulang-ulang.[6]

4. AL-AJARIDAH
           
Subsekte ini adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad, yang menurut al-Syahrastani dalam al-Milal adalah salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.
            Menurut faham golongan Al-jaridah, anak kecil tidak dapat dikatakan berdosa dan musyrik dikarenakan orang tuanya dianggap berdosa dan musyrik.

5. AL-SUFRIYAH
           
Golongan ini mempunyai pemimpin Zaid Ibn Al-Asfar. Dalam faham mereka lebih cenderung dekat kepada subsekte Al-Azariqah, dan oleh sebab itu mereka dikatakan  termasuk golongan yang extrim, tapi dalam beberapa hal mereka  agak lunak dalam berpendapat. Dalam sub bahasan berikut penulis akan  menyebutkan beberapa pendapat subsekte ini :
a.      Orang-orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Mengenai orang yang melakukan dosa besar, tidak semua dari mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar menjadi musyrik dan dimasukkan kedalam neraka, dalam hal ini ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, yaitu dosa yang ad sangsinya didunia ini, seperti melakukan perkosaan, membunuh tanpa adnya alasan yang dapat mengesahkan. Dan dosa yang tidak mempuanyai efek sangsi didunia ini, seperti meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan lain-lain. Menurut pandangan sebagaian golongan ini orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang pertama tidaklah dapat dipandang kafir, dan hanyalah orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang kedua itulah yang dapat dikatakan kafir.
d.      Daerah orang  islam yang tidak sepaham dengan mereka bukalah dar harb  yaitu daerah yang wajib diperangi tetapi yang wajib diperangi hanyalah camp pemerintah, dan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
e.       Kafir bagi mereka ada dua macam, yaitu kufur ni’mat kurf bi inkar al-nim’ah dan kurf bi inkar al-rububiyah atau menginkari Tuhan, dengan demikian mereka beranggapan bahwa istilah kafir tidak selamanya harus dikatakan keluar dari agama Islam.
Disamping pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan diatas, ada beberapa pendapat yang lebih spesifik sifatnya.
a.      Ta qiah, atau merahasiakan keyakinan demi keselamatan seseorang, hanya boleh dilakukan dalam perkataan dan tidak boleh dilakukan dalam  bentuk perbuatan.
b.      Meskipun demikian, demi keselamatan dirinya seorang muslimah dibolehkan menikah dengan laki-laki kafir.[7]

6. AL-IBADIAH

            Diantara beberapa subsekte dari golongan Khawarij, subsekte inilah yang dapat dikatakan yang paling moderat. Paham kemoderatan mereka dapat dilihat dari doktrin ajaran mereka, dibawah ini penulis akan menyebutkan beberapa ajaran-ajaran mereka :
a.      Orang yang tidak sama fahamnya dengan mereka tidaklah dikatakan mu’min dan tidak pula dikatakan musyrik tapi dikatakan kafir. Dengan orang islam yang demikian itu boleh diadakan ikatan perkawinan dan hubungan waris, Syahadad mereka dianggap masih dapat diterima. Dan orang yang seperti ini haram untuk dibunuh.
b.      Daerah orang islam yang tidak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah adalah dar tawhid atau daerah orang yang meng Esakan Allah, tidak boleh diperangi. Dan yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah atau camp pemerintah.
c.       Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedangkan emas perak dan harta- harta yang lainnya harus dikembalikan kepada yang mempunyai.
d.      Sedangkan dalam persoalan dosa besar, subsekte ini menganggap pelaku dosa besar adalah muwahhid yang mengEsakan Tuhan, tetapi tidaklah mu’min. Dan juga bukan kafir millah atau kafir agama, dengan demikian subsekte ini  berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak berarti keluar dari agama Islam.[8]


B. Menurut ajaran Murji’ah

            Persoalan perbedaan faham terhadap pelaku dosa besar yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan bahan pembahasan bagi para tokoh-tokoh Murji’ah.
            Kalau pada umumnya  kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, lain lagi yang diajarkan golongan Murji’ah, golongan ini menghukumi Tetap Mu,min  bagi orang islam yang  melakukan dosa besar,  adapun masalah dosa yang mereka perbuat, itu ditunda penyelasaiannya/pembalasannya pada hari perhitungan kelak.
            Argumen yang mereka gunakan dalam mensikapi hal tersebut ialah. Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain mereka masih mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap mu’min karena masih mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.
            Oleh karena itu dalam hal tahkim, mereka tidak mengeluarkan pendapat  siapa yang bersalah dan yang benar, mereka menunda bagaimana hukum  persoalan tersebut arja’a atau diserahkan kepada Allah. Dengan demikian kelompok Murji’ah  pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirkah orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.[9]
            Arja’a selanjutnya mempunyai arti memberi pengharapan bagi yang telah melakukan perbuatan dosa besar untuk mendapatkan rahmad Allah, dihari perhitungan kelak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah dihari perhitungan kelak dan bukan karena memandang perbuatan mengambil tempat kemudian dari pada iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan kepada para pelaku dosa besar untuk dapa masuk kesurga.[10]
            Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan  Allah nanti dihari pembalasan[11], namun untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar penulis akan menyebutkan  rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan moderat memberi satatus pada pelaku dosa besar.

1.      Golongan Murji’ah ekstrim
Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan secara demonstartif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mu’min sekalipun menampakkan sikap seperti seorang nasrani atau yahudi.[12]jadi menurut golongan ekstrim, kalau melihat dari konsep iman mereka , perbuatan dosa sekalipun dosa itu adalah dosa besar tidak mempunyai pengaruh hukum pada status pelaku dosa besar.

2. Aliran Murji’ah Moderat
Golongan Murji’ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir, dan tidaklah kekal didalam neraka, tetapi akan dihukum didalam neraka hanya sesuai dengan besarnya dosa yang mereka perbuat dan ada kemungkinan Tuhan akan memberi ampunan atas dosa yang mereka perbuat, sehingga mereka bisa tidak dimasukkan kedalam neraka sama sekali dikarenakan kehendak / ampunan Tuhan.[13]

C.  Menurut Aliran Mu’tazilah

            Perbedaan golongan Mu’tazilah dengan golongan lain yaitu bila golongan Khawarij memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan jika murji’ah menanguhkan setatus orang yang melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak dihari pembalasan. Sedang aliran Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat yang pasti bagi para pelaku dosa besar.[14]
            Jika kita melihat sedikit sejarah tentang masalah berpisahnya seorang tokoh sentral Mu’tazilah yaitu Washil Bin Atha’ dengan sang guru yaitu Hasan Basri seorang Tabiin dari Basrah yang wafat pada tahun 110 H. Pangkal persoalannya yaitu masalah seorang mu’min yang melakukan  dosa besar tapi tidak bertaubat sebelum meninggal.
            Dalam pendapat Imam Hasan Basri, apabila seorang muslim telah melakukan dosa besar seperti melakukan pembunuhan tanpa adanya alasan yang dibenarkan, atau melakukan perbuatan zina, atau mendurhakai orang tuanya, Dan lain lain, menurutnya seorang itu tidaklah dikatakan kafir tetapi dikatakan sebagai mu’min yang durhaka. Jika dia meninggal dalam keadaan belum bertaubat, ia akan dihukum didalam neraka beberapa waktu, dan kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan surga setelah selesai menjalani hukuman atas dosanya.
            Sedangkan Washil Bin Atha’ berpendapat lain tentang hal tersebut,  menurut tokoh aliran Mutazilah ini bahwa seorang yang telah melakukan dosa besar dan mati atas dosanya tidaklah mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tapi diantara mu’min dan kafir.
            Pelaku dosa besar tersebut akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, seperti hukuman untuk orang kafir, tetapi hukumannya diringankan “ nerakannya tidak sepanas untuk orang kafir “[15]
Jadi  aliran Mu’tazilah menetapkan status bagi pelaku dosa besar ialah diantara kafir dan mu’min atau dalam istilah merka yang terkenal yaitu manzilah bain al manzilatain , dikarenakan istilah itulah mereka dikatakan aliran Mu’tazilah (menurut salah satu versi), dikarenakan mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari ( tidak masuk ) dalam golongan mu’min ataupun kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yng di katagorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah memaparkan lebih dan merumuskannya dengan lebih konseptual dari pada aliran Khawarij, yang dimaksud dosa besar menurut pandangan aliran ini adalah segala perbuatan yang ancamannya telah ditegaskan dalam nash, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah yang di kategorikan dosa kecil adalah dosa atau  ketidak patuhan yang  ancamannya tidak ditetapkan dalam nash.
Tampaknya kaum Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar untuk menentukan dosa besar atau dosa kecil.[16]
Masih menurut aliran Mu’tazilah pelaku dosa besar bukanlah kafir seperti yang dihukumkan oleh kelompok Khawarij, dan bukanlah dapat dikatakan tetap mu’min seperti kaum Murji’ah memberikan status untuk pelaku dosa besar. Menurut Mu’tazilah pelaku dosa besar dikategorikan fasik,  yaitu posisi yang menduduki antara mu’min dan kafir, kata mu’min menurut Washil Ibn Atha’ merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan fasik dengan dosa besarnya, tapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar yang dilakukannya ia masih mengucapkan dua kalimat syahadad dan masih melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.[17]

D. Menurut Aliran Asy’ariyah

Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti , membunuh tanpa adanya alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu masih tetap sebagai orang yang mu’min dengan keimanan yang mereka miliki, sakalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi jika perbuatan dosa itu dilakukan dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau dihalalkan maka dan tidak meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu dihukumi kafir,[18]
Adapun balasan bagi pelaku dosa besar nanti diakherat, apabila dia meninggal dalam keadaan tidak sempat bertaubat, menurut aliran ini tergantung akan kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat mengampuni dosa pelaku dosa besar, dan atau pelaku dosa besar bisa mendapatkan Syafaat Nya Nabi Muhammad, sehingga ia dapat bebas dari siksaan atau sebaliknya Tuhan Menghukumnya dengan memberi siksaan neraka sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya. Meskipun demikian ia tidak akan kekal didalam neraka seperti orang kafir lainnya, dan setelah selesai disiksa ia akan dimasukkan kedalam syurga.[19]
Akan lebih jelasnya penulis akan menyapaikan doktrin-doktrin aliran Asy’ariyah mengenai pelaku dosa besar.
Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat, maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara muslim, seperti  memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah kewajiban kita. Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.
Mu’min pelaku dosa besar, diakherat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan :
1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena Tuhan Maha Pemurah, dan ia lansung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.
2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi Muhammad,  sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan,dan lansung dimasukkan kedalam surga.
3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan disiksa didalam neraka sesua kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari siksaan dan dimasukkan surga dan kekal didalamnya karena saat didalam dunia dia adalah seorang yang beriman.[20]
 Itulah tiga kemungkinan yang diyakini oleh aliran ini untuk orang mu’min yang berdosa besar dan tidak sempat bertaubat.
            Adapun dasar dalil yang digunakan aliran ini adalah dalam Al-Quran surat An-Nisa’  ayat 48
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ   افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا 
            “Baheasannya  Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau Ia dipersekutukan, tapi diampuninya selain dari pada itubagi siapa yang dikehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya dai memperbuat dosa yang sangat besar (An-Nisa’ 48 )
            Menurut ayat diatas barang siapa yang melakukan perbuatan dosa besar ataupun kecil, kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka dia bisa diampuni dan mereka menggunakan hadist dibawah ini sebagai sandaran dalil atas i’itiqad aliran ini mengenai mu’min yang berdosa besar.

فيقول : وعزتي وجلالي وكبرياءي وعظمتي لاخرجن منهامن قال: لااله الا الله.
 رواه البخاري.
            “Maka Tuhan berfirman: maka demi kegagahanKu,demi kebesaranKu, demi KetinggianKu, dan demi keagunganKu, aku keluarkan dari nereka sekalian orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah” “ ( H.R. Bukhori )

Menurut hadits ini, ada sekumpulan orang yang sudah kena hukuman
didalam neraka lantas dikeluarkan lagi dan dimasukkan kedalam surga. Menurut aliran ini, itu adalah mereka orang-orang mu’min yang durhaka, dengan melakukan perbuatan dosa semasa hidupnya.[21]
Selain dalil diatas, Nabi Muhammad menerangkan pada suatu hari :

             عن ابي ذررضي الله عنه قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم اتاني ات من ربي فاخبرني انه من مات من امتي لا يشرك بالله دخل الجنة ( قلت ) وان زنى وان سرق. راوه البخاري ومسليم
“Dari Abu Dzar RA, ia berkata: Berkata Rosullulah SAW : Datang pesuruh Tuhan mengabarkan kepada say, bahwa barang siapa meninggal, sedang ia tidak mensekutukan Tuhan sedikitpun, lalu Abu Dzar berkata : walau dai pernah dan mencuri ? jawab Rosulullah: Ya, wlaupun ia pernah melakukan zina dan mencuri” ( HR Bukhori Muslim )
Aliran ini mengunakan dalil-dalil diatas untuk menguatkan I’itiqad mereka bahwa mu’min pelaku dosa besar tidaklah berada didalam neraka selamanya. Dan penulis menambah cuplikan dari kitab kifayatul Awam, bahwa penganut aliran ini berkewajiban i’itikad bahwa dosa besar tidak menyebabkan kekafiran.

ايجب اعتقاده ان الوقوع في الكباءر عير مكفر لا يوجب الكفر وتجب التوبة حالا من الذنب ولو صغيرة على المعتمد فيها ولا تنتقص التوبة بعوده الى الذنب بل يجب لهذ الذنب توبة جديدة
“Dan diantara perkara yang wajib mengi’tiqadkannya adalah bahwa jatuh dalam dosa-dosa besar tidak mengkafirkan ( dalam arti ) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wajib taubat seketika itu walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu’tamad padanya ( dosa yang kecil ) Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada dosa melainkan wajib bagi dosa itu melainkan dosa yang baru”[22]
Dan meskipun adanya siksaan bagi pelaku dosa besar walaupun satu orang:
ومما يجب اعتقاده ان بعض من ار تكب الكبائر يعذب ولو واحدا
"Dan diantara perkara yang wajib meni’tiqadkannya adalah bahwa sebagian orang yang melakukan dosa besar akan terkena adzab walaupun satu orang”[23]
Pada intinya terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.[24]

E. Menurut Aliran Maturidiyah
           
Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di dunia.[25]
Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat  dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya . kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.[26]


F. Menurut Aliran Syi’ah Zadiyah

Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin Atha’, mempunyai hubungan dengan zaid  bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin Atha’.[27]/[28]

    ANALISIS DAN KESIMPULAN
Dalam pembahasan diatas kita dapat mengkalsifikasikan mana saja aliran yang mempunyai pandangan yang sama dan yang mana saja aliran yang punya pandangan berbeda mengenai status mu’min yang berdosa besar
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andai kata pelaku dosa besar dimasukan kedalam neraka, ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akhirat ia akan dimasukan ke neraka dan kekal di dalamnya. Ini diwakili oleh Khawarij dan Mu’tazilah,meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Bahwa Khawarij memandang pelaku dosa besar adalah kafir bahkan dikatakan musyrik, dan akan dimasukkan didalam neraka untuk selamanya sebagaimana hukuman yang serupa untuk orang-orang kafir, sementara Mu’tazilah memandang pelaku dosa besar sebagai fasik yaitu diantara mu’min dan kafir dan akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya namun hukumannya tak seberat, tak sepedih yang dialami oleh orang-orang kafir.
Perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika di tinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat diklasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh khawarij dan Mu’tazila,  sementara sisanya merupakan kubu moderat.[29]

P E N U T U P
Dari berbagai pandangan yang penulis paparkan diatas dapat kita. Dapat menyimpulkan bahwa adanya perbedaan pandanga terhadap pelaku dosa besar diantara banyak aliran yang telah kita sebut itu dikarenakan  adanya perbedaan penafsiran dari dalil-dalil yang ada dalam nash Al-Quran dan Hadits,
Dari penyajian makalah yang singkat ini mudah-mudahan dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita semua supaya kita mendapat  tambahan referensi. Supaya kita tidak berfikir kerdil dalam mensikapi   segala perbedaan yang mungkin akan timbul dalam kehidupa bermasyrakat. Dan mudah-mudahan menjadi ilmu yang bermamfaat. Amiin ya Rabbal Alamiin

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Prof. Dr. 2010, Teologi Islam, Jakarta, UI Press

Rozak, Abdul, Dr. M.Ag, Anwar, Rosihon, Dr. M.Ag, Ilmu Kalam, 2009, Bandung, CV PUSTAKA SETIA

Muhammad, Al-Fudholi, Syaikh, 1997, Terjemah Kifayatul Awam, Surabaya,                                   MUTIARA ILMU

Abbas, Siradjuddin, KH, 2006, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta, Pustaka     Tarbiyah





21



[1] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah, ( Jakarta : CV. Pustaka Tarbiyah, 2006) hal. 175
[2] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,( Bandung, CV. Pustaka Setia,2009) hal. 134
[3]  Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, UI press,2010), hal. 15
[4]  Ibid hal.  16
[5]  Ibid Hal. 17
[6] Ibid  hal. 19
[7] Ibid hal.  21
[8] Ibid hal.  22
[9] Ibid hal. 24

[10] Ibid hal. 26
[11] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jama..... hal. 188
[12] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala....hal. 136

[13] Harun Nasution, Teologi Is....hal.  26
[14] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala..... hal. 137
[15] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal ja...hal. 216
[16] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala.....hal. 137
[17] Harun Nasution, Teologi Is.......hal. 45
[18] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal............hal. 138
[19] Ibid hal. 138
[20] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal ja..... hal. 216
[21] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jam...hal.  218


[22] Syekh Muhammad Al-Fuddholi, terjemah Kifayatul Awam.(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997)               hal. 222
[23] Ibid hal. 225
[24] http://asepidris.blogspot.com
[25] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal...hal.138
[26] http://kusnitohir.blogspot.com
[27] http://asepidris.blogspot.com
[28] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal...hal.139
[29] Ibid hal. 140

Minggu, 18 September 2011

JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM


 
BAB I
PENDAHULUAN

Pada zaman globalisasi yang katanya modern ini, umat Islam terutama kaum wanita dihadapkan pada tantangan dan godaan dari masuknya budaya barat yang menjajah terhadap kebudayaan Islam, dan umat Islam dituntut untuk dapat menjalankan syariat yang telah diajarkan dalam hidup beragama dan dapat menunjukkan identitas keislaman mereka, baik dalam tingkahlaku, dalam hidup berbudaya bahkan dalam cara berpakaian .  Akhir-akhir ini, umat Islam seakan terhenyak dengan derasnya arus pemikiran liberal yang menyerang sendi-sendi ajaran Islam.
Maka dalam penulisan makalah ini penulis akan berusaha membahas  tentang cara umat muslim berpakain terutama pada pakian wanita yang dikhususkan pada pembahasan tentang jilbab.
Dalam makalah ini penulis memberi judul “Jilbab Dalam Persfektif Islam”, Semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi pada ilmu pengetahuan Islam, dan dapat bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca, Amiin ya Rabbal Alamiin.
BAB  II
PEMBAHASAN


  Wanita dalam agama Islam memperoleh perhatian yang sangat tinggi. Wanita diperintahkan untuk menjaga kesuciannya, menjadi wanita mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi dan diwajibkan padanya untuk  berpakaian dan berperhiasan yang telah disyariatkan kepadanya, tidak lain adalah untuk mencegah kerusakan yang timbul akibat tabarruj (berhias diri). Inipun bukan untuk mengekang kebebasannya akan tetapi sebagai pelindung baginya agar tidak tergelincir pada lumpur kehinaan atau menjadi sorotan mata.
Allah SWT berfirman:
 ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أدْنَى أنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)[1]
Perintah  menutupi aurat mereka itu untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah SWT “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang  jilbab, lebih baiknya kita mengetahui dahulu asbabun nuzul turunnya ayat jilbab, dan definisi jilbab itu sendiri :
A. Asbabun Nuzul Ayat Tentang Jilbab
Asbabun-nuzul surat al-Ahzab ayat 59 penting disebutkan, “Saat itu, kaum wanita pada zaman Nabi SAW sering keluar ke padang pasir untuk buang hajat (air besar). Sehingga banyak kaum laki-laki yang menyakini mereka sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka sebagian mereka mengadukan hal ini kepada Nabi SAW “Karena sebab itulah ayat berjilbab itu diwahyukan”.
Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lak-laki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Sedangkan khimar sejak dulu dipahami sebagai kerudung. Dengan perkembangan mutakhir, mode, barangkali hanya jilbab saja yang lebih dikenal hingga kini.
Hal ini, mirip dengan asbab an-nuzul dari ayat tentang hijab di atas, yang dikhususkan untuk para isteri Nabi. Saat itu, Úmar ibn Khattab usul kepada Nabi; “Ya Rasulallah, isteri-isterimu banyak didatangi orang, dari orang yang baik ataupun yang jahat (fajir) untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya Engkau perintahkan mereka untuk memasang hijab? ”Dari usul Úmar itulah ayat tersebut diturunkan. Berangkat dari sini pula, syariáh hijab dan berjilbab ditetapkan.
B. Definisi Jilbab
Secara terminologi atau istilah, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita peroleh pengertian jilbab sebagai berikut :

1. Lisanul Arab:
 "Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita
untuk menutupi kepala, dada dan bagian belakang tubuhnya."[2]
2. Al Mu'jamal-Wasit :
 "Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang
(khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk
menutupi semua tubuh seperti halnya mantel.[3]
Dari rujukan kedua kamus di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa  jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby: "Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh."
Tetapi bagi masyarakat Indonesia dan bahkan juga Malaysia, jilbab umumnya diartikan sebagai selendang yang menutupi kepala sampai leher dan dada. Definisi ini memang tidaklah bertentangan dengan definisi umum di atas karena disebutkan juga oleh Lisanul Arab ataupun Al Mu'jamal-Wasit dan dikutip Qurthuby berasal dari Ibnu Abbas yang mengartikan jilbab dengan rida' atau selendang.
C. Pendapat Para Ulama Yang Mewajibkan BerJilbab

1. Pendapat Ulama Ahli Tafsir

            Setelah mempelajari pengertian umum dan pengertian secara terminologi tentang jilbab ada baiknya juga kita merujuk uraian para ulama tafsir mengenai jilbab:

1.1. Tafsir Ibnu Abbas

Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan, “Selendang atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.[4]

1.2. Tafsir Sayyid Qutb

            Menurut Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor.[5]

1.3. Tafsir Qurthuby
           
Allah SWT memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperagakan tubuh dan kulitnya
kecuali dihadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas
menikmati kecantikannya.[6]


1.4. Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat, khususnya para istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.[7]

Kesimpulan dari uraian ulama tafsir di atas dapat kita simpulkan bahwa :

a. Para ulama tafsir umumnya sependapat bahwa memakai tudung menutupi
    aurat selain muka dan telapak tangan merupakan kewajiban yang mendasar
    bagi setiap kaum muslimah, apabila mereka akan keluar rumah, atau dalam
    rumah sendiri jika ada tamu selain muhrim.
b. Bentuk atau fesyen pakaian muslimah memang tidaklah diatur oleh Al Qur'an secara terperinci, yang utama adalah memenuhi syarat, yaitu menutupi seluruh
tubuh selain muka dan telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis dan juga tidak
membentuk lekuk tubuh (ketat).
Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 31 :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (Q.S.An-Nur 31)[8].

Dalam ayat ini antara lain Alla.h SWT memerintahkan pada kaum muslimah :

a. Agar tidak memamerkan perhiasan kecuali sekadar yang biasa terlihat  darinya seperti cincin dan gelang tangan.

b. Wajib menutupi dada dan leher dengan selendang, kerudung atau jilbab.

c. Perhiasan hanya boleh diperlihatkan kepada sepuluh kelompok manusia yang
disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Janganlah sengaja menghentakkan kaki agar diketahui atau didengar orang perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki dan lain-lain)
2. Pendapat Imam Madzab Empat
2.1. Madzab hanafi :   Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah                         dan kedua telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat.
2.2. Madhab Maliki :   Aurat wanita merdeka terhadap laki laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat
2.3. Madhab Syafi'i :   Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Imam Nawawi berkata : Hingga pergelangan tangan, berdasarkan firman Allah: dan janganlah mereks menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak dari padanya.[9]
2.4. Madhab Hanbali :            Imam Ahmad Bin Hanbal berkata: Seluruh tubuhnya adalah aurat  kecuali wajahnya saja
Demikian alasan boleh dirujuk kepada hadits Nabi SAW yang berbunyi :
"Diceritakan oleh Siti Aisyah r.a., bahwa adiknya yang bernama Asma binti Abu Bakar pernah datang menghadap Rosululloh dengan berpakaian agak tipis, lalu Rosululloh berpaling dan bersabda, 'Wahai Asma, bila seorang wanita telah baligh tidak boleh lagi terlihat kecuali ini dan ini. Lalu Rasulullah SAW menunjukkan pada muka dan tapak tangan beliau."(H.R. Abu Dawud)
3. Menurut Ulama Kotemporer
3.1. Menurut Wahbah Az-Zuhaili
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (yang bukan muhrim) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan. [10]
3.2. Menurut Yusuf Qaradhawi
Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan  bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan  adalah pendapat Jama’ah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.[11]
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.[12]
D. Pendapat Ulama Yang Tidak Mewajibkan Jilbab
1.  Menurut  Quraysh Sihab.
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 59.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
 M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsiri ayat tersebut diatas, dengan manyatakan bahwa Allah SWT tidak memerintahkan  muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena  pada zaman itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum sesuai dengan apa yang dikehendaki ayat diatas. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[13] inilah pendapat yang dipegang oleh Quraish Sihab.
Di samping itu beliau juga mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (Q.S. An-Nur 31)[14]
Quraish Shihab juga mengulangi pendapatnya tersebut dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Dan beliau juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer,  yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Beliau bahkan mempertanyakan hukum jilbab, dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapatnya tersebut. Ia menulis:
Diatas semoga telah tergambar tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda, boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
            Quraish Shihab juga menyampaikan suatu pandangan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:


فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك[15]
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh dari Al-Quran yang dikemukakan adalah surat Al-Ahzab  59,  yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ " فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب [16]
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya,  Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
 Quraysh Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[17]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa  Quraish Shihab memiliki pendapat yang bersebrangan dengan kebanyakan ulama mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
Walaupun, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (lihat Wawasan Al-Quran hal. 175-176).
Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. (sewaktu-waktu).
2. Muhammad Sa’id Al-Asmawi
Muhammad Sa’id Al-Asmawi berpendapat bahwa jibab itu tak wajib. Menurutnya jilbab adalah produk budaya Arab. Bahkan beliau mengatakan bahwa ayat tentang hijab itu tidak mengandung ketetapan hokum qat’iy dan hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Dalam kitabnya beliau menyatakan bahwa jilbab itu bukan suatu kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[18]
3.Muhammad Shahrur
Pakaian tertutup yang kini dinamai jilabab bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarakat [19]
E. Pandangan Penulis
            Dari pendapat para ulama yang otoritatif, yang mempunyai kemampuan yang tidak diragukan dalam kapasitas ilmu tafsir dan keilmuan dibidang fiqh, seperti madhab empat, pandangan ulama tersebut bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak dikhususkan  hanya untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal.
            Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal”  tentu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan faktor ‘illah.
            Tanpa bermaksud untuk memunculkan pandangan baru sebagai sebuah pendapat, kami sampaikan bahwa kami tidak sependapat dengan Quraish Shihab dan para ulama yang berpendapat tidak wajibnya berjilbab bagi kaum muslimah. Ditengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab dikalangan wanita muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, kurang mendidik. Meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang  Dewi Persik atau seorang Jupe (Julia Peres), melainkan keluar dari seorang mufassir al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia.
   Tanpa mengurangi rasa hormat kami pada para tokoh yang berpendapat tidak wajibnya jilbab kami akan melakukan sebuah analisis dalam makalah ini,  maka kami menemukan beberapa keganjilan tentang para pakar kontemporer yang berpendapat tentang tidak wajibnya berjilbab.
     Al-Ashmawy , Pendapatnya banyak ditolak oleh tokoh-tokoh ulama Mesir, bahkan pendapat beliau ditolak oleh Mufti Negara Mesir “ Muhammad Sayyid Tantawy” Beliau tegas mengatakan: Penafsiran al-Ashmawy  tentang jilbab, merupakan penafsiran yang jauh dari kebenaran, karena ayat suci jelas memerintahkan istri, anak beliau (Nabi SAW) dan wanita mukminah agar senantiasa memperhatikan al- Himsyah (sopan, rasa malu).
Quraish Shihab didalam berbagai bukunya tentang jilbab [20], selalu mengkritisi pendapat tokoh ahli tafsir dan ahli fiqih yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam berijtihad dan yang banyak diikuti hasil ijtihadnya dalam ilmu agama. Padahal dalam pembahasan selain jilbab banyak sekali kita temukan Quraish Shihab mengadopsi pendapat mereka. Dalam pembahasan liberal ini (jilbab), Quraish Shihab hanya berkiblat kepada para cendekiawan seperti ;Muhammad Thahir bin Asyur tokoh liberal Tunisia, al-Ashmawy, dan Shahrur yang  juga penganut paham liberal dan pluralisme agama. Ini jelas menunjukkan sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang terasa dipaksakan.[21]
Muhammad Shahrur, seperti yang dijelaskan quraish Shihab dalam buku jilbab pakaian wanita muslimah , mengatakan bahwa Syahrur sangat lemah dalam disiplin ilmu agama dan tidak logis dalam membuat analog keagamaan[22].
 Inilah analisa yang dapat kami sajikan dalam makalah ini, kiranya dapat sebagi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan bagi siapa saja yang kebetulan membaca dan bagi kami khususnya.

BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

    Adanya perbedaan diantara para ulama dalam menyikapi tentang hukum jilbab. Agaknya yang menjadi sebab adalah  tidak adanya dalil yang menyatakan mana batasan aurat, ada sebagian lagi ulama yang menyatakan bahwa berjilbab bagi kaum hawa tidaklah wajib, dan sebagaian lagi yang kita kenal dengan ulama mufasirin dan ulama madhab yang biasa kita kenal dengan ulama salaf, berpendapat bahwa jilbab adalah wajib hukumnya bagi kaum muslimah.
   Penulis dalam hal ini lebih condong untuk  mengikuti pendapat ulama’ salaf dan pengikutnya dengan alasan bahwa mereka secara ilmiah telah mendapatkan pengakuan keilmuan lebih besar dari para ulama ulama’ sejak dulu hingga sekarang. Dan sesungguhnya, praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah (petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab adalah para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
            Demikian makalah yang kami tulis, sebagai pemenuhan tugas yang diberikan kepada kami, mudah-mudahan mempunyai efek manfaat bagi siapa saja yang kebetulan membaca dan khususnya bagi kami para penulis. Kiranya banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini, kami mohon adanya kritik dan saran yang dapat menjadikan kami lebih baik kedepannya.Amiin Ya Rabbal Alamiin.

Ahmad Hasan Asy’ari
DAFTAR PUSTAKA


Al-Zuhaili,Wahbah At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Beirut : Darul Fikr, 1991)

 Al-Qurthubi ,Syamsuddin, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, www. altafsir.com

Ibn Ashur, Muhammad Al-Tahir Maqasid Al-Shari’ah, (Tunisia : Sharikah Al- Tunisia li al-Tauzi’,tt)

Hafidz, Rifki, jilbab dalam pandangan islam,http://tifany.wordpress.com

Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt)

Ibnu Katsir, Al-Hafidz Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003)

Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, www. altafsir. com

Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt

Muhammad Said Al-Ashmawy,Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-  
Hadith,(Mesir:Madbuli al-Shagir,1995)

Muis,Fahrur Jilbab dalam pandangan Al-Qur’an, http://fokammsi.wordpress.com

Quran DEPAG

Qardawy, Yusuf, Hadyu al-Islam Fatawy Mu'asirah, terj : As'ad Yasin,( Jakarta : Gema Insani Pers, 1995)

Qutb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, www. altafsir.com.

Shahrur, Muhammad, Nahwa usul jadidah li al-Fiqh  al- Islam,( Beirut : Al-Ahali, 2002)

Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003)

Shihab, M.Quraish Wawasan Al-Quran, (Bandung : Mizan, 2003)

Shihab, M.Quraish Jilbab pakaian wanita Shihab,muslimah,pandangan ulama’ masa lalu dan cendekiawan kontemporer,(Jakarta : Lentera Hati, 2006)



[1] Alquran DEPAG
[2] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), cet I, Jil. I, hal. 272
[3] Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt

[4] Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com
[5] Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com


[6] Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org
[7] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003), Jil. 3. 631
[8] Al-Quran DEPAG
[9] Abu Zakaria Muhyiddin Yahya al-Nawawy, Al- Majmu' ala Sarh Muhaddab, ( Beirut : Dar al-Fikr,tt), 3,167-168.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr, 1991), cet I, 11, 107.
[11] Yusuf Qardawy, Hadyu al-Islam Fatawy Mu'asirah, terj : As'ad Yasin,( Jakarta : Gema Insani Pers, 1995), 431-436
[12] Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).

[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.

[14] Al-Quran DEPAG
[15]Muhammad Al-Tahir ibn Asyur, Maqasid Al-Shari’ah, (Tunisia. Sharikah Al- Tunisia li al-Tauzi’,TT),h 91
[16] Ibid, h 19
[17]M qurish Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, pandangan ulama’ masa lalu dan cendekiawan kontemporer,)Jakarta : Lentera Hati, 2006,( h 188-189

[18]Muhammad Said Al-Ashmawy,Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-Hadith,(Mesir: Madbuli al-Shagir,1995,)h 16-19

[19] Muhammad Shahrur, Nahwa usul jadidah li al-Fiqh  al- Islam,( Beirut : Al-Ahali, 2002,) 356
[20] Lihat tafsir Misbah dalam tafsir ayat hijab, wawasan al-Qur’an dalam bab pakaian, buku Jilbab pakaian wanita Muslimah dalam pandangan ulama’ salaf dan cendekiawan kontemporer.
[21] Fahrur Muis,Jilbab dalam pandangan Al-Qur’an, http://fokammsi.wordpress.com
[22]Qurish Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah,,128-138