Minggu, 18 September 2011

JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM


 
BAB I
PENDAHULUAN

Pada zaman globalisasi yang katanya modern ini, umat Islam terutama kaum wanita dihadapkan pada tantangan dan godaan dari masuknya budaya barat yang menjajah terhadap kebudayaan Islam, dan umat Islam dituntut untuk dapat menjalankan syariat yang telah diajarkan dalam hidup beragama dan dapat menunjukkan identitas keislaman mereka, baik dalam tingkahlaku, dalam hidup berbudaya bahkan dalam cara berpakaian .  Akhir-akhir ini, umat Islam seakan terhenyak dengan derasnya arus pemikiran liberal yang menyerang sendi-sendi ajaran Islam.
Maka dalam penulisan makalah ini penulis akan berusaha membahas  tentang cara umat muslim berpakain terutama pada pakian wanita yang dikhususkan pada pembahasan tentang jilbab.
Dalam makalah ini penulis memberi judul “Jilbab Dalam Persfektif Islam”, Semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi pada ilmu pengetahuan Islam, dan dapat bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca, Amiin ya Rabbal Alamiin.
BAB  II
PEMBAHASAN


  Wanita dalam agama Islam memperoleh perhatian yang sangat tinggi. Wanita diperintahkan untuk menjaga kesuciannya, menjadi wanita mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi dan diwajibkan padanya untuk  berpakaian dan berperhiasan yang telah disyariatkan kepadanya, tidak lain adalah untuk mencegah kerusakan yang timbul akibat tabarruj (berhias diri). Inipun bukan untuk mengekang kebebasannya akan tetapi sebagai pelindung baginya agar tidak tergelincir pada lumpur kehinaan atau menjadi sorotan mata.
Allah SWT berfirman:
 ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أدْنَى أنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)[1]
Perintah  menutupi aurat mereka itu untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah SWT “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang  jilbab, lebih baiknya kita mengetahui dahulu asbabun nuzul turunnya ayat jilbab, dan definisi jilbab itu sendiri :
A. Asbabun Nuzul Ayat Tentang Jilbab
Asbabun-nuzul surat al-Ahzab ayat 59 penting disebutkan, “Saat itu, kaum wanita pada zaman Nabi SAW sering keluar ke padang pasir untuk buang hajat (air besar). Sehingga banyak kaum laki-laki yang menyakini mereka sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka sebagian mereka mengadukan hal ini kepada Nabi SAW “Karena sebab itulah ayat berjilbab itu diwahyukan”.
Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lak-laki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Sedangkan khimar sejak dulu dipahami sebagai kerudung. Dengan perkembangan mutakhir, mode, barangkali hanya jilbab saja yang lebih dikenal hingga kini.
Hal ini, mirip dengan asbab an-nuzul dari ayat tentang hijab di atas, yang dikhususkan untuk para isteri Nabi. Saat itu, Úmar ibn Khattab usul kepada Nabi; “Ya Rasulallah, isteri-isterimu banyak didatangi orang, dari orang yang baik ataupun yang jahat (fajir) untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya Engkau perintahkan mereka untuk memasang hijab? ”Dari usul Úmar itulah ayat tersebut diturunkan. Berangkat dari sini pula, syariáh hijab dan berjilbab ditetapkan.
B. Definisi Jilbab
Secara terminologi atau istilah, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita peroleh pengertian jilbab sebagai berikut :

1. Lisanul Arab:
 "Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita
untuk menutupi kepala, dada dan bagian belakang tubuhnya."[2]
2. Al Mu'jamal-Wasit :
 "Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang
(khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk
menutupi semua tubuh seperti halnya mantel.[3]
Dari rujukan kedua kamus di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa  jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby: "Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh."
Tetapi bagi masyarakat Indonesia dan bahkan juga Malaysia, jilbab umumnya diartikan sebagai selendang yang menutupi kepala sampai leher dan dada. Definisi ini memang tidaklah bertentangan dengan definisi umum di atas karena disebutkan juga oleh Lisanul Arab ataupun Al Mu'jamal-Wasit dan dikutip Qurthuby berasal dari Ibnu Abbas yang mengartikan jilbab dengan rida' atau selendang.
C. Pendapat Para Ulama Yang Mewajibkan BerJilbab

1. Pendapat Ulama Ahli Tafsir

            Setelah mempelajari pengertian umum dan pengertian secara terminologi tentang jilbab ada baiknya juga kita merujuk uraian para ulama tafsir mengenai jilbab:

1.1. Tafsir Ibnu Abbas

Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan, “Selendang atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.[4]

1.2. Tafsir Sayyid Qutb

            Menurut Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor.[5]

1.3. Tafsir Qurthuby
           
Allah SWT memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperagakan tubuh dan kulitnya
kecuali dihadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas
menikmati kecantikannya.[6]


1.4. Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat, khususnya para istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.[7]

Kesimpulan dari uraian ulama tafsir di atas dapat kita simpulkan bahwa :

a. Para ulama tafsir umumnya sependapat bahwa memakai tudung menutupi
    aurat selain muka dan telapak tangan merupakan kewajiban yang mendasar
    bagi setiap kaum muslimah, apabila mereka akan keluar rumah, atau dalam
    rumah sendiri jika ada tamu selain muhrim.
b. Bentuk atau fesyen pakaian muslimah memang tidaklah diatur oleh Al Qur'an secara terperinci, yang utama adalah memenuhi syarat, yaitu menutupi seluruh
tubuh selain muka dan telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis dan juga tidak
membentuk lekuk tubuh (ketat).
Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 31 :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (Q.S.An-Nur 31)[8].

Dalam ayat ini antara lain Alla.h SWT memerintahkan pada kaum muslimah :

a. Agar tidak memamerkan perhiasan kecuali sekadar yang biasa terlihat  darinya seperti cincin dan gelang tangan.

b. Wajib menutupi dada dan leher dengan selendang, kerudung atau jilbab.

c. Perhiasan hanya boleh diperlihatkan kepada sepuluh kelompok manusia yang
disebutkan dalam ayat tersebut.
d. Janganlah sengaja menghentakkan kaki agar diketahui atau didengar orang perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki dan lain-lain)
2. Pendapat Imam Madzab Empat
2.1. Madzab hanafi :   Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah                         dan kedua telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat.
2.2. Madhab Maliki :   Aurat wanita merdeka terhadap laki laki asing, yakni yang bukan mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat
2.3. Madhab Syafi'i :   Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Imam Nawawi berkata : Hingga pergelangan tangan, berdasarkan firman Allah: dan janganlah mereks menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak dari padanya.[9]
2.4. Madhab Hanbali :            Imam Ahmad Bin Hanbal berkata: Seluruh tubuhnya adalah aurat  kecuali wajahnya saja
Demikian alasan boleh dirujuk kepada hadits Nabi SAW yang berbunyi :
"Diceritakan oleh Siti Aisyah r.a., bahwa adiknya yang bernama Asma binti Abu Bakar pernah datang menghadap Rosululloh dengan berpakaian agak tipis, lalu Rosululloh berpaling dan bersabda, 'Wahai Asma, bila seorang wanita telah baligh tidak boleh lagi terlihat kecuali ini dan ini. Lalu Rasulullah SAW menunjukkan pada muka dan tapak tangan beliau."(H.R. Abu Dawud)
3. Menurut Ulama Kotemporer
3.1. Menurut Wahbah Az-Zuhaili
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (yang bukan muhrim) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan. [10]
3.2. Menurut Yusuf Qaradhawi
Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.
Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan  bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan  adalah pendapat Jama’ah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.[11]
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.[12]
D. Pendapat Ulama Yang Tidak Mewajibkan Jilbab
1.  Menurut  Quraysh Sihab.
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 59.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
 M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsiri ayat tersebut diatas, dengan manyatakan bahwa Allah SWT tidak memerintahkan  muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena  pada zaman itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum sesuai dengan apa yang dikehendaki ayat diatas. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[13] inilah pendapat yang dipegang oleh Quraish Sihab.
Di samping itu beliau juga mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (Q.S. An-Nur 31)[14]
Quraish Shihab juga mengulangi pendapatnya tersebut dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Dan beliau juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer,  yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Beliau bahkan mempertanyakan hukum jilbab, dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapatnya tersebut. Ia menulis:
Diatas semoga telah tergambar tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda, boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
            Quraish Shihab juga menyampaikan suatu pandangan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:


فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك[15]
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh dari Al-Quran yang dikemukakan adalah surat Al-Ahzab  59,  yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ " فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب [16]
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya,  Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
 Quraysh Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[17]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa  Quraish Shihab memiliki pendapat yang bersebrangan dengan kebanyakan ulama mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
Walaupun, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (lihat Wawasan Al-Quran hal. 175-176).
Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. (sewaktu-waktu).
2. Muhammad Sa’id Al-Asmawi
Muhammad Sa’id Al-Asmawi berpendapat bahwa jibab itu tak wajib. Menurutnya jilbab adalah produk budaya Arab. Bahkan beliau mengatakan bahwa ayat tentang hijab itu tidak mengandung ketetapan hokum qat’iy dan hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Dalam kitabnya beliau menyatakan bahwa jilbab itu bukan suatu kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[18]
3.Muhammad Shahrur
Pakaian tertutup yang kini dinamai jilabab bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarakat [19]
E. Pandangan Penulis
            Dari pendapat para ulama yang otoritatif, yang mempunyai kemampuan yang tidak diragukan dalam kapasitas ilmu tafsir dan keilmuan dibidang fiqh, seperti madhab empat, pandangan ulama tersebut bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak dikhususkan  hanya untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal.
            Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukum-hukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal”  tentu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan faktor ‘illah.
            Tanpa bermaksud untuk memunculkan pandangan baru sebagai sebuah pendapat, kami sampaikan bahwa kami tidak sependapat dengan Quraish Shihab dan para ulama yang berpendapat tidak wajibnya berjilbab bagi kaum muslimah. Ditengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab dikalangan wanita muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, kurang mendidik. Meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang  Dewi Persik atau seorang Jupe (Julia Peres), melainkan keluar dari seorang mufassir al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia.
   Tanpa mengurangi rasa hormat kami pada para tokoh yang berpendapat tidak wajibnya jilbab kami akan melakukan sebuah analisis dalam makalah ini,  maka kami menemukan beberapa keganjilan tentang para pakar kontemporer yang berpendapat tentang tidak wajibnya berjilbab.
     Al-Ashmawy , Pendapatnya banyak ditolak oleh tokoh-tokoh ulama Mesir, bahkan pendapat beliau ditolak oleh Mufti Negara Mesir “ Muhammad Sayyid Tantawy” Beliau tegas mengatakan: Penafsiran al-Ashmawy  tentang jilbab, merupakan penafsiran yang jauh dari kebenaran, karena ayat suci jelas memerintahkan istri, anak beliau (Nabi SAW) dan wanita mukminah agar senantiasa memperhatikan al- Himsyah (sopan, rasa malu).
Quraish Shihab didalam berbagai bukunya tentang jilbab [20], selalu mengkritisi pendapat tokoh ahli tafsir dan ahli fiqih yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam berijtihad dan yang banyak diikuti hasil ijtihadnya dalam ilmu agama. Padahal dalam pembahasan selain jilbab banyak sekali kita temukan Quraish Shihab mengadopsi pendapat mereka. Dalam pembahasan liberal ini (jilbab), Quraish Shihab hanya berkiblat kepada para cendekiawan seperti ;Muhammad Thahir bin Asyur tokoh liberal Tunisia, al-Ashmawy, dan Shahrur yang  juga penganut paham liberal dan pluralisme agama. Ini jelas menunjukkan sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang terasa dipaksakan.[21]
Muhammad Shahrur, seperti yang dijelaskan quraish Shihab dalam buku jilbab pakaian wanita muslimah , mengatakan bahwa Syahrur sangat lemah dalam disiplin ilmu agama dan tidak logis dalam membuat analog keagamaan[22].
 Inilah analisa yang dapat kami sajikan dalam makalah ini, kiranya dapat sebagi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan bagi siapa saja yang kebetulan membaca dan bagi kami khususnya.

BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

    Adanya perbedaan diantara para ulama dalam menyikapi tentang hukum jilbab. Agaknya yang menjadi sebab adalah  tidak adanya dalil yang menyatakan mana batasan aurat, ada sebagian lagi ulama yang menyatakan bahwa berjilbab bagi kaum hawa tidaklah wajib, dan sebagaian lagi yang kita kenal dengan ulama mufasirin dan ulama madhab yang biasa kita kenal dengan ulama salaf, berpendapat bahwa jilbab adalah wajib hukumnya bagi kaum muslimah.
   Penulis dalam hal ini lebih condong untuk  mengikuti pendapat ulama’ salaf dan pengikutnya dengan alasan bahwa mereka secara ilmiah telah mendapatkan pengakuan keilmuan lebih besar dari para ulama ulama’ sejak dulu hingga sekarang. Dan sesungguhnya, praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah (petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab adalah para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
            Demikian makalah yang kami tulis, sebagai pemenuhan tugas yang diberikan kepada kami, mudah-mudahan mempunyai efek manfaat bagi siapa saja yang kebetulan membaca dan khususnya bagi kami para penulis. Kiranya banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini, kami mohon adanya kritik dan saran yang dapat menjadikan kami lebih baik kedepannya.Amiin Ya Rabbal Alamiin.

Ahmad Hasan Asy’ari
DAFTAR PUSTAKA


Al-Zuhaili,Wahbah At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Beirut : Darul Fikr, 1991)

 Al-Qurthubi ,Syamsuddin, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, www. altafsir.com

Ibn Ashur, Muhammad Al-Tahir Maqasid Al-Shari’ah, (Tunisia : Sharikah Al- Tunisia li al-Tauzi’,tt)

Hafidz, Rifki, jilbab dalam pandangan islam,http://tifany.wordpress.com

Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt)

Ibnu Katsir, Al-Hafidz Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003)

Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, www. altafsir. com

Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt

Muhammad Said Al-Ashmawy,Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-  
Hadith,(Mesir:Madbuli al-Shagir,1995)

Muis,Fahrur Jilbab dalam pandangan Al-Qur’an, http://fokammsi.wordpress.com

Quran DEPAG

Qardawy, Yusuf, Hadyu al-Islam Fatawy Mu'asirah, terj : As'ad Yasin,( Jakarta : Gema Insani Pers, 1995)

Qutb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, www. altafsir.com.

Shahrur, Muhammad, Nahwa usul jadidah li al-Fiqh  al- Islam,( Beirut : Al-Ahali, 2002)

Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003)

Shihab, M.Quraish Wawasan Al-Quran, (Bandung : Mizan, 2003)

Shihab, M.Quraish Jilbab pakaian wanita Shihab,muslimah,pandangan ulama’ masa lalu dan cendekiawan kontemporer,(Jakarta : Lentera Hati, 2006)



[1] Alquran DEPAG
[2] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), cet I, Jil. I, hal. 272
[3] Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt

[4] Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com
[5] Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com


[6] Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org
[7] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Cairo: Darul Hadits, 2003), Jil. 3. 631
[8] Al-Quran DEPAG
[9] Abu Zakaria Muhyiddin Yahya al-Nawawy, Al- Majmu' ala Sarh Muhaddab, ( Beirut : Dar al-Fikr,tt), 3,167-168.
[10] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr, 1991), cet I, 11, 107.
[11] Yusuf Qardawy, Hadyu al-Islam Fatawy Mu'asirah, terj : As'ad Yasin,( Jakarta : Gema Insani Pers, 1995), 431-436
[12] Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).

[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.

[14] Al-Quran DEPAG
[15]Muhammad Al-Tahir ibn Asyur, Maqasid Al-Shari’ah, (Tunisia. Sharikah Al- Tunisia li al-Tauzi’,TT),h 91
[16] Ibid, h 19
[17]M qurish Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah, pandangan ulama’ masa lalu dan cendekiawan kontemporer,)Jakarta : Lentera Hati, 2006,( h 188-189

[18]Muhammad Said Al-Ashmawy,Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyat al-Hadith,(Mesir: Madbuli al-Shagir,1995,)h 16-19

[19] Muhammad Shahrur, Nahwa usul jadidah li al-Fiqh  al- Islam,( Beirut : Al-Ahali, 2002,) 356
[20] Lihat tafsir Misbah dalam tafsir ayat hijab, wawasan al-Qur’an dalam bab pakaian, buku Jilbab pakaian wanita Muslimah dalam pandangan ulama’ salaf dan cendekiawan kontemporer.
[21] Fahrur Muis,Jilbab dalam pandangan Al-Qur’an, http://fokammsi.wordpress.com
[22]Qurish Shihab, Jilbab pakaian wanita muslimah,,128-138

1 komentar: