Minggu, 25 September 2011

PELAKU DOSA BESAR DALAM PERSPEKTIF ANTAR ALIRAN DALAM ILMU KALAM

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
            Persoalan politik pada masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbitrase atau tahkim dari Mu’awiyah Bin Abi Sofyan pada perang Siffin. Diduga sebagai titik awal munculnya persoalan teologi dalam ilmu kalam yaitu timbulnya persolan siap yang dianggap kafir dan siapa yang dianggap masih mempunyai iman.
            Pada era selanjutnya Khawarijpun pecah kepada beberapa sub sekte, konsep kafir turut pula mengalami perubahan, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang menentukan hukum tidak dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besarpun  juga dipandang kafir. Persoalan berbuat dosa besar inilah yang kemudian turut andil besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya.
 Dalam perkembangannya, Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam, pertama Khawarij yang memandang bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh, kedua, Murjiah yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin bukan kafir, soal dosa besar yang dilakukannya, diserahkan kepada Allah untuk mengampuni atau tidak; ketiga, aliran Mu’tazilah yang menolak kedua pandangan-pandangan kedua aliran-aliran diatas. Bagi Mu’tazilah orang berdosa besar tidak lah kafir, tetapi bukan pula mukmin, mereka menyebutnya manzilah bainal manzilataini (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih rasional bahkan liberal dalam beragama.


          Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisional Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab imam Ibn Hambal, sepeninggal al Ma’mun pada dinasti Abbasiah, syiar Mu’tazilah berkurang bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh khalifah al Mutawakkil. Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung, mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al Hasan al Asy’ari yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al Asy’ariah, di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansur Al Mauturidi., Aliran ini dikenal dengan Maturidiah. Dalam makalah yang akan penulis sampaikan adalah pandangan antar aliran dalam ilmu kalam tentang pelaku dosa besar.
PEMBAHASAN
            Dalam pembahasan teori berikut, penulis akan membahas pandangan antar beberapa aliran yang kita kenal dalam ilmu kalam mengenai pandangan mereka terhadap pelaku dosa besar.

A. Menurut aliran Khowarij

Semua pelaku dosa besar murtabb al- kabiroh , menurut semua sub sekte dari golongan khowarij, kecuali subsekte najah, adalah kafir dan akan disiksa didalam neraka untuk selamanya, bahkan sub sekte yang dikenal ekstrim, yaitu sub sekte azzariqoh’ menggunakan istilah yang lebih mengrikan dari kata kafir, kelompok tersebut menggunakan istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara muslim itu pun sangat biasa dikalangan khowarij bahkan  Nafii Bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin  oleh kaum Khawarij menfatwakan bahwa sekalian orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan anak isterinya..Dalam hal ini mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Nuh 26-27)[1]
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا  إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
3
“Nuh berdoa: wahai Tuhanku janganlah engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat dimuka bumi. Sesungguhnya jika engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih.( Nuh 26-27 ).
Meskipun secara umum subsekte Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing sub sekte tersebut masih berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir.[2]

Mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Al-Maidah 44:

           وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alllah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( Q.S Al-Maidah 44 )

Disinilah letak penjelasannya sebagaimana mudahnya golongan Khowarij terpecah belah menjadi subsekte-sub sekte yang banyak, serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap para penguasa pada zamannya. Dalam sub bahasan ini  penulis akan menyebut kan beberapa subsekte dari golongan Khawarij, dan pandangan mereka terhadap para pelaku dosa besar.

1. AL-MUHAKKIMAH
           
Golongan ini adalah golongan Khowarij dan terdiri dari para pengikut Ali, menurut golongan ini Ali, Mu’wiyah, dan kedua utusan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn Al-Ash, dan Abu Musa Al Asyari, dan semua yang terlibat dalam arbitrase,  dianggap bersalah dan mereka menghukuminya kafir.[3]
            Menurut golongan ini, hukum kafir diluaskan artinya sehingga pelaku dosa besar pun, seperti berbuat zina, membunuh tanpa adanya alasan yang sah termasuk dalam golongan orang yang berbuat dosa besar dan dihukumi keluar dari islam dan menjadi kafir.[4]

2. AL-AZARIQOH
           
Subsekte Az-zariqah ini, bersikap lebih radikal lagi dibanding subskte Al-Muhakimmah, golongan ini tidak lagi memakai istilah kafir dalm menghukumi pelaku dosa besar, tapi mereka menggunakan term musyrik polytheist, yang mana musyrik merupakan dosa yang paling tinggi tingkatanya. Yang mereka anggap musyrik ialah semua orang isam yang tidak paham dengan mereka, meskipun orang islam yang sepaham dengan golongan ini, tapi tidak mau berhijrah kedalam barisan mereka juga dianggap musyrik dan wajib dibunuh.
            Karena dalam pandangan  golongan ini hanya daerah merekalah yang  merupakan negara isam dan yang lain dianggap dar al-kufr.  yang mereka anggap harus diperangi. Dan yang mereka anggap musyrik bukan hanya orang dewasa dan anak anakpun ikut mereka anggap musyrik (yang bukan dari golongan mereka ).[5]

3.  AL-NAJDAD
           
Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah adalah pimpinan sub sekte ini. Kelompok ini berlainan pendapat dengan kedua kelompok diatas dalam mensikapi  pelaku dosa besar, menurut pendapat subsekte ini pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan yang kekal didalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan mereka, adapun jika pengikutnya melakukan dosa besar , tetap dimasukkan kedalam neraka  dan mendapat siksaan tetapi tidaklah kekal didalamnya dan  kemudian akan dimasukkan kedalam surga.
            Dosa kecil bagi mereka bisa menjadi besar apabila dikerjakan secara berulang-ulang,dan pelakunya akan menjadi musyrik.
            Dalam kalangan golangan Khawarij subsekte An-Najdad inilah yang pertama kali memperkenalkan faham taqiah yaitu merahasiakan atau tidak menyatakan keyakinan demi untuk keselamatan seseorang, taqiah menuru mereka bukan hanya dalam bebtuk ucapan saja tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan bahwa dirinya bukanlah seorang meslim tapi hakikatnya dia adalah seorang yang tetap menganut agam Islam. Tapi dalam hal ini tidak semua dari pengikut An-Najdad yang bisa menyetujui faham tersebut diatas, terutama pada doktrin yang menyatakan bahwa dosa besar tidak menjadikan pengikutnya menjadi kafir dan dosa kecil dapat menjadi besar apabila dilakukan secara berulang-ulang.[6]

4. AL-AJARIDAH
           
Subsekte ini adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad, yang menurut al-Syahrastani dalam al-Milal adalah salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.
            Menurut faham golongan Al-jaridah, anak kecil tidak dapat dikatakan berdosa dan musyrik dikarenakan orang tuanya dianggap berdosa dan musyrik.

5. AL-SUFRIYAH
           
Golongan ini mempunyai pemimpin Zaid Ibn Al-Asfar. Dalam faham mereka lebih cenderung dekat kepada subsekte Al-Azariqah, dan oleh sebab itu mereka dikatakan  termasuk golongan yang extrim, tapi dalam beberapa hal mereka  agak lunak dalam berpendapat. Dalam sub bahasan berikut penulis akan  menyebutkan beberapa pendapat subsekte ini :
a.      Orang-orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Mengenai orang yang melakukan dosa besar, tidak semua dari mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar menjadi musyrik dan dimasukkan kedalam neraka, dalam hal ini ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, yaitu dosa yang ad sangsinya didunia ini, seperti melakukan perkosaan, membunuh tanpa adnya alasan yang dapat mengesahkan. Dan dosa yang tidak mempuanyai efek sangsi didunia ini, seperti meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan lain-lain. Menurut pandangan sebagaian golongan ini orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang pertama tidaklah dapat dipandang kafir, dan hanyalah orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang kedua itulah yang dapat dikatakan kafir.
d.      Daerah orang  islam yang tidak sepaham dengan mereka bukalah dar harb  yaitu daerah yang wajib diperangi tetapi yang wajib diperangi hanyalah camp pemerintah, dan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
e.       Kafir bagi mereka ada dua macam, yaitu kufur ni’mat kurf bi inkar al-nim’ah dan kurf bi inkar al-rububiyah atau menginkari Tuhan, dengan demikian mereka beranggapan bahwa istilah kafir tidak selamanya harus dikatakan keluar dari agama Islam.
Disamping pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan diatas, ada beberapa pendapat yang lebih spesifik sifatnya.
a.      Ta qiah, atau merahasiakan keyakinan demi keselamatan seseorang, hanya boleh dilakukan dalam perkataan dan tidak boleh dilakukan dalam  bentuk perbuatan.
b.      Meskipun demikian, demi keselamatan dirinya seorang muslimah dibolehkan menikah dengan laki-laki kafir.[7]

6. AL-IBADIAH

            Diantara beberapa subsekte dari golongan Khawarij, subsekte inilah yang dapat dikatakan yang paling moderat. Paham kemoderatan mereka dapat dilihat dari doktrin ajaran mereka, dibawah ini penulis akan menyebutkan beberapa ajaran-ajaran mereka :
a.      Orang yang tidak sama fahamnya dengan mereka tidaklah dikatakan mu’min dan tidak pula dikatakan musyrik tapi dikatakan kafir. Dengan orang islam yang demikian itu boleh diadakan ikatan perkawinan dan hubungan waris, Syahadad mereka dianggap masih dapat diterima. Dan orang yang seperti ini haram untuk dibunuh.
b.      Daerah orang islam yang tidak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah adalah dar tawhid atau daerah orang yang meng Esakan Allah, tidak boleh diperangi. Dan yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah atau camp pemerintah.
c.       Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedangkan emas perak dan harta- harta yang lainnya harus dikembalikan kepada yang mempunyai.
d.      Sedangkan dalam persoalan dosa besar, subsekte ini menganggap pelaku dosa besar adalah muwahhid yang mengEsakan Tuhan, tetapi tidaklah mu’min. Dan juga bukan kafir millah atau kafir agama, dengan demikian subsekte ini  berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak berarti keluar dari agama Islam.[8]


B. Menurut ajaran Murji’ah

            Persoalan perbedaan faham terhadap pelaku dosa besar yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan bahan pembahasan bagi para tokoh-tokoh Murji’ah.
            Kalau pada umumnya  kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, lain lagi yang diajarkan golongan Murji’ah, golongan ini menghukumi Tetap Mu,min  bagi orang islam yang  melakukan dosa besar,  adapun masalah dosa yang mereka perbuat, itu ditunda penyelasaiannya/pembalasannya pada hari perhitungan kelak.
            Argumen yang mereka gunakan dalam mensikapi hal tersebut ialah. Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain mereka masih mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap mu’min karena masih mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.
            Oleh karena itu dalam hal tahkim, mereka tidak mengeluarkan pendapat  siapa yang bersalah dan yang benar, mereka menunda bagaimana hukum  persoalan tersebut arja’a atau diserahkan kepada Allah. Dengan demikian kelompok Murji’ah  pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirkah orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.[9]
            Arja’a selanjutnya mempunyai arti memberi pengharapan bagi yang telah melakukan perbuatan dosa besar untuk mendapatkan rahmad Allah, dihari perhitungan kelak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah dihari perhitungan kelak dan bukan karena memandang perbuatan mengambil tempat kemudian dari pada iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan kepada para pelaku dosa besar untuk dapa masuk kesurga.[10]
            Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan  Allah nanti dihari pembalasan[11], namun untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar penulis akan menyebutkan  rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan moderat memberi satatus pada pelaku dosa besar.

1.      Golongan Murji’ah ekstrim
Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan secara demonstartif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mu’min sekalipun menampakkan sikap seperti seorang nasrani atau yahudi.[12]jadi menurut golongan ekstrim, kalau melihat dari konsep iman mereka , perbuatan dosa sekalipun dosa itu adalah dosa besar tidak mempunyai pengaruh hukum pada status pelaku dosa besar.

2. Aliran Murji’ah Moderat
Golongan Murji’ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir, dan tidaklah kekal didalam neraka, tetapi akan dihukum didalam neraka hanya sesuai dengan besarnya dosa yang mereka perbuat dan ada kemungkinan Tuhan akan memberi ampunan atas dosa yang mereka perbuat, sehingga mereka bisa tidak dimasukkan kedalam neraka sama sekali dikarenakan kehendak / ampunan Tuhan.[13]

C.  Menurut Aliran Mu’tazilah

            Perbedaan golongan Mu’tazilah dengan golongan lain yaitu bila golongan Khawarij memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan jika murji’ah menanguhkan setatus orang yang melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak dihari pembalasan. Sedang aliran Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat yang pasti bagi para pelaku dosa besar.[14]
            Jika kita melihat sedikit sejarah tentang masalah berpisahnya seorang tokoh sentral Mu’tazilah yaitu Washil Bin Atha’ dengan sang guru yaitu Hasan Basri seorang Tabiin dari Basrah yang wafat pada tahun 110 H. Pangkal persoalannya yaitu masalah seorang mu’min yang melakukan  dosa besar tapi tidak bertaubat sebelum meninggal.
            Dalam pendapat Imam Hasan Basri, apabila seorang muslim telah melakukan dosa besar seperti melakukan pembunuhan tanpa adanya alasan yang dibenarkan, atau melakukan perbuatan zina, atau mendurhakai orang tuanya, Dan lain lain, menurutnya seorang itu tidaklah dikatakan kafir tetapi dikatakan sebagai mu’min yang durhaka. Jika dia meninggal dalam keadaan belum bertaubat, ia akan dihukum didalam neraka beberapa waktu, dan kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan surga setelah selesai menjalani hukuman atas dosanya.
            Sedangkan Washil Bin Atha’ berpendapat lain tentang hal tersebut,  menurut tokoh aliran Mutazilah ini bahwa seorang yang telah melakukan dosa besar dan mati atas dosanya tidaklah mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tapi diantara mu’min dan kafir.
            Pelaku dosa besar tersebut akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, seperti hukuman untuk orang kafir, tetapi hukumannya diringankan “ nerakannya tidak sepanas untuk orang kafir “[15]
Jadi  aliran Mu’tazilah menetapkan status bagi pelaku dosa besar ialah diantara kafir dan mu’min atau dalam istilah merka yang terkenal yaitu manzilah bain al manzilatain , dikarenakan istilah itulah mereka dikatakan aliran Mu’tazilah (menurut salah satu versi), dikarenakan mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari ( tidak masuk ) dalam golongan mu’min ataupun kafir.
Mengenai perbuatan apa saja yng di katagorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah memaparkan lebih dan merumuskannya dengan lebih konseptual dari pada aliran Khawarij, yang dimaksud dosa besar menurut pandangan aliran ini adalah segala perbuatan yang ancamannya telah ditegaskan dalam nash, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah yang di kategorikan dosa kecil adalah dosa atau  ketidak patuhan yang  ancamannya tidak ditetapkan dalam nash.
Tampaknya kaum Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar untuk menentukan dosa besar atau dosa kecil.[16]
Masih menurut aliran Mu’tazilah pelaku dosa besar bukanlah kafir seperti yang dihukumkan oleh kelompok Khawarij, dan bukanlah dapat dikatakan tetap mu’min seperti kaum Murji’ah memberikan status untuk pelaku dosa besar. Menurut Mu’tazilah pelaku dosa besar dikategorikan fasik,  yaitu posisi yang menduduki antara mu’min dan kafir, kata mu’min menurut Washil Ibn Atha’ merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan fasik dengan dosa besarnya, tapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar yang dilakukannya ia masih mengucapkan dua kalimat syahadad dan masih melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.[17]

D. Menurut Aliran Asy’ariyah

Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti , membunuh tanpa adanya alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu masih tetap sebagai orang yang mu’min dengan keimanan yang mereka miliki, sakalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi jika perbuatan dosa itu dilakukan dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau dihalalkan maka dan tidak meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu dihukumi kafir,[18]
Adapun balasan bagi pelaku dosa besar nanti diakherat, apabila dia meninggal dalam keadaan tidak sempat bertaubat, menurut aliran ini tergantung akan kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat mengampuni dosa pelaku dosa besar, dan atau pelaku dosa besar bisa mendapatkan Syafaat Nya Nabi Muhammad, sehingga ia dapat bebas dari siksaan atau sebaliknya Tuhan Menghukumnya dengan memberi siksaan neraka sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya. Meskipun demikian ia tidak akan kekal didalam neraka seperti orang kafir lainnya, dan setelah selesai disiksa ia akan dimasukkan kedalam syurga.[19]
Akan lebih jelasnya penulis akan menyapaikan doktrin-doktrin aliran Asy’ariyah mengenai pelaku dosa besar.
Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat, maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara muslim, seperti  memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah kewajiban kita. Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.
Mu’min pelaku dosa besar, diakherat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan :
1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena Tuhan Maha Pemurah, dan ia lansung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab.
2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi Muhammad,  sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan,dan lansung dimasukkan kedalam surga.
3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan disiksa didalam neraka sesua kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari siksaan dan dimasukkan surga dan kekal didalamnya karena saat didalam dunia dia adalah seorang yang beriman.[20]
 Itulah tiga kemungkinan yang diyakini oleh aliran ini untuk orang mu’min yang berdosa besar dan tidak sempat bertaubat.
            Adapun dasar dalil yang digunakan aliran ini adalah dalam Al-Quran surat An-Nisa’  ayat 48
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ   افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا 
            “Baheasannya  Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau Ia dipersekutukan, tapi diampuninya selain dari pada itubagi siapa yang dikehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya dai memperbuat dosa yang sangat besar (An-Nisa’ 48 )
            Menurut ayat diatas barang siapa yang melakukan perbuatan dosa besar ataupun kecil, kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka dia bisa diampuni dan mereka menggunakan hadist dibawah ini sebagai sandaran dalil atas i’itiqad aliran ini mengenai mu’min yang berdosa besar.

فيقول : وعزتي وجلالي وكبرياءي وعظمتي لاخرجن منهامن قال: لااله الا الله.
 رواه البخاري.
            “Maka Tuhan berfirman: maka demi kegagahanKu,demi kebesaranKu, demi KetinggianKu, dan demi keagunganKu, aku keluarkan dari nereka sekalian orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah” “ ( H.R. Bukhori )

Menurut hadits ini, ada sekumpulan orang yang sudah kena hukuman
didalam neraka lantas dikeluarkan lagi dan dimasukkan kedalam surga. Menurut aliran ini, itu adalah mereka orang-orang mu’min yang durhaka, dengan melakukan perbuatan dosa semasa hidupnya.[21]
Selain dalil diatas, Nabi Muhammad menerangkan pada suatu hari :

             عن ابي ذررضي الله عنه قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم اتاني ات من ربي فاخبرني انه من مات من امتي لا يشرك بالله دخل الجنة ( قلت ) وان زنى وان سرق. راوه البخاري ومسليم
“Dari Abu Dzar RA, ia berkata: Berkata Rosullulah SAW : Datang pesuruh Tuhan mengabarkan kepada say, bahwa barang siapa meninggal, sedang ia tidak mensekutukan Tuhan sedikitpun, lalu Abu Dzar berkata : walau dai pernah dan mencuri ? jawab Rosulullah: Ya, wlaupun ia pernah melakukan zina dan mencuri” ( HR Bukhori Muslim )
Aliran ini mengunakan dalil-dalil diatas untuk menguatkan I’itiqad mereka bahwa mu’min pelaku dosa besar tidaklah berada didalam neraka selamanya. Dan penulis menambah cuplikan dari kitab kifayatul Awam, bahwa penganut aliran ini berkewajiban i’itikad bahwa dosa besar tidak menyebabkan kekafiran.

ايجب اعتقاده ان الوقوع في الكباءر عير مكفر لا يوجب الكفر وتجب التوبة حالا من الذنب ولو صغيرة على المعتمد فيها ولا تنتقص التوبة بعوده الى الذنب بل يجب لهذ الذنب توبة جديدة
“Dan diantara perkara yang wajib mengi’tiqadkannya adalah bahwa jatuh dalam dosa-dosa besar tidak mengkafirkan ( dalam arti ) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wajib taubat seketika itu walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu’tamad padanya ( dosa yang kecil ) Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada dosa melainkan wajib bagi dosa itu melainkan dosa yang baru”[22]
Dan meskipun adanya siksaan bagi pelaku dosa besar walaupun satu orang:
ومما يجب اعتقاده ان بعض من ار تكب الكبائر يعذب ولو واحدا
"Dan diantara perkara yang wajib meni’tiqadkannya adalah bahwa sebagian orang yang melakukan dosa besar akan terkena adzab walaupun satu orang”[23]
Pada intinya terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.[24]

E. Menurut Aliran Maturidiyah
           
Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di dunia.[25]
Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat  dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya . kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.[26]


F. Menurut Aliran Syi’ah Zadiyah

Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin Atha’, mempunyai hubungan dengan zaid  bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin Atha’.[27]/[28]

    ANALISIS DAN KESIMPULAN
Dalam pembahasan diatas kita dapat mengkalsifikasikan mana saja aliran yang mempunyai pandangan yang sama dan yang mana saja aliran yang punya pandangan berbeda mengenai status mu’min yang berdosa besar
Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andai kata pelaku dosa besar dimasukan kedalam neraka, ia tak akan kekal di dalamnya. Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akhirat ia akan dimasukan ke neraka dan kekal di dalamnya. Ini diwakili oleh Khawarij dan Mu’tazilah,meskipun antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Bahwa Khawarij memandang pelaku dosa besar adalah kafir bahkan dikatakan musyrik, dan akan dimasukkan didalam neraka untuk selamanya sebagaimana hukuman yang serupa untuk orang-orang kafir, sementara Mu’tazilah memandang pelaku dosa besar sebagai fasik yaitu diantara mu’min dan kafir dan akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya namun hukumannya tak seberat, tak sepedih yang dialami oleh orang-orang kafir.
Perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika di tinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat diklasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh khawarij dan Mu’tazila,  sementara sisanya merupakan kubu moderat.[29]

P E N U T U P
Dari berbagai pandangan yang penulis paparkan diatas dapat kita. Dapat menyimpulkan bahwa adanya perbedaan pandanga terhadap pelaku dosa besar diantara banyak aliran yang telah kita sebut itu dikarenakan  adanya perbedaan penafsiran dari dalil-dalil yang ada dalam nash Al-Quran dan Hadits,
Dari penyajian makalah yang singkat ini mudah-mudahan dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita semua supaya kita mendapat  tambahan referensi. Supaya kita tidak berfikir kerdil dalam mensikapi   segala perbedaan yang mungkin akan timbul dalam kehidupa bermasyrakat. Dan mudah-mudahan menjadi ilmu yang bermamfaat. Amiin ya Rabbal Alamiin

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Prof. Dr. 2010, Teologi Islam, Jakarta, UI Press

Rozak, Abdul, Dr. M.Ag, Anwar, Rosihon, Dr. M.Ag, Ilmu Kalam, 2009, Bandung, CV PUSTAKA SETIA

Muhammad, Al-Fudholi, Syaikh, 1997, Terjemah Kifayatul Awam, Surabaya,                                   MUTIARA ILMU

Abbas, Siradjuddin, KH, 2006, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta, Pustaka     Tarbiyah





21



[1] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah, ( Jakarta : CV. Pustaka Tarbiyah, 2006) hal. 175
[2] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,( Bandung, CV. Pustaka Setia,2009) hal. 134
[3]  Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, UI press,2010), hal. 15
[4]  Ibid hal.  16
[5]  Ibid Hal. 17
[6] Ibid  hal. 19
[7] Ibid hal.  21
[8] Ibid hal.  22
[9] Ibid hal. 24

[10] Ibid hal. 26
[11] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jama..... hal. 188
[12] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala....hal. 136

[13] Harun Nasution, Teologi Is....hal.  26
[14] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala..... hal. 137
[15] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal ja...hal. 216
[16] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kala.....hal. 137
[17] Harun Nasution, Teologi Is.......hal. 45
[18] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal............hal. 138
[19] Ibid hal. 138
[20] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal ja..... hal. 216
[21] Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal jam...hal.  218


[22] Syekh Muhammad Al-Fuddholi, terjemah Kifayatul Awam.(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997)               hal. 222
[23] Ibid hal. 225
[24] http://asepidris.blogspot.com
[25] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal...hal.138
[26] http://kusnitohir.blogspot.com
[27] http://asepidris.blogspot.com
[28] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kal...hal.139
[29] Ibid hal. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar